Enam Sekawan Jagoan Telko
Kamis, 16 Juli 2009
Oleh : Sudarmadi
Berbekal tekad dan kompetensi, 6 sahabat ini
sukses mengembangkan bisnis telekomunikasi dengan omset Rp 800 miliar.
Bagaimana liku-likunya?
Kesuksesan hanyalah garis lanjut bagi siapa pun
yang mau menekuni bidang yang menjadi spesialisasinya secara fokus dan
terus mengembangkan diri.
Prinsip itu telah dilakoni dengan tepat oleh Budi Permana dan lima
kawannya di bisnis telekomunikasi (telko). Mengibarkan Grup Hariff (GH),
6 sekawan itu terbilang sukses. Memproduksi aneka perangkat mekanik
untuk menunjang industri infrastruktur telko – power system, alat
transmisi, base transceiver station (BTS/mobile ataupun fix), produk
berbasis WiMax – dan menjadi penyedia jaringan broadband wireless
access, kiprah mereka cukup disegani. Pelanggannya hampir seluruh
operator seluler di Tanah Air. Kinerja perusahaan yang kini menampung
700 karyawan itu pun ciamik: omsetnya sekitar Rp 800 miliar. Dan awal
2009 ini, mereka juga memperoleh penghargaan prestisius: Rintisan
Teknologi dari Presiden RI, atas prestasi mereka dalam melakukan invensi
teknologi di berbagai bidang yang mereka garap.
GH memang tengah melejit di bisnis telko nasional. Yang menarik, siapa
sangka bila semuanya bermula dari nol. Ya, hanya bermodal kepercayaan.
Bila dikilas balik, cikal-bakal kelompok usaha ini dimulai dengan
berkumpulnya 6 sekawan – lima di antaranya alumni Institut Teknologi
Bandung – pada 1982. Sejak awal berkolaborasi, mereka memang ingin
mendirikan perusahaan bidang telko. "Keenam orang ini pada dasarnya
memang tukang ngoprek barang. Tapi kami juga punya mimpi untuk
meningkatkan produksi dalam negeri lewat kemampuan anak bangsa," kata
Budi Permana, satu dari 6 sekawan yang sekarang didapuk jadi Presdir PT
Hariff Daya Tunggal Engineering.
Mereka berenam sebelumnya aktif di Radio 8 EH ITB – radio siaran
mahasiswa ITB. Setelah berpencar mencari peruntungan selepas lulus
kuliah, mereka akhirnya bertemu dan bersama lagi. "Ada sejarah cukup
panjang sebelumnya. Satu sama lain sudah percaya, lalu bertemu lagi
bikin usaha," ujar Budi, lulusan Teknik Elektro ITB (angkatan 1974).
Awalnya, bisnis mereka bisa dikatakan menyambar sana-sini. Mulai dari
proyek telko HF, VHF dan UHF, dua tahun berikutnya (1986) mereka sempat
membuat perusahaan konsultan telko. Namun, dari pergerakan tak berbentuk
itulah muncul jaringan bisnis berikut kepercayaan di dalamnya.
Kepercayaan terhadap kemampuan 6 sekawan ini di dunia infrastuktur
telko.
Roda waktu bergerak, bisnis pun menggelinding. Tahun 1988, mereka
mendapatkan proyek besar di Sangatta, Kutai, Kalimantan Timur:
mendirikan stasiun bumi di PT Kaltim Prima Coal. Dikatakan besar karena
nilai proyeknya mencapai Rp 2,3 miliar. Angka yang terbilang akbar pada
saat itu.
Sayangnya, bisnis yang siap menggelinding sempat tertahan. Di tengah
tawaran yang menggiurkan, 6 sahabat menemui kendala karena belum punya
“bendera” yang bisa dijadikan kendaraan untuk ikut tender proyek. Tak
hilang akal, akhirnya mereka mengakuisisi perusahaan bidang general
trading bernama PT Hariff Tunggal Engineering, milik Ahmad Shukri Bay
yang saat ini menjadi komisarisnya.
Satu kendala dilewati, kendala lain muncul. Mereka tak punya modal untuk
ikut tender sebesar itu. Sebagai new entrepreneur, mereka baru meretas
karya. Namun, lagi-lagi mereka tak putus asa. Bank menjadi sandaran
dengan menjual kompetensi dan rasa saling percaya. "Kepada bank saya
jelaskan bahwa kami punya bisnis dengan prospek seperti ini, kemampuan
kami begini. Saya modal dengkul tidak punya apa-apa,” kata Budi
mengenang. “Untungnya, pada saat itu pemberian pembiayaan dari bank
begitu mudah sehingga soal keuangan tidak menjadi masalah," kelahiran
Tasikmalaya, 8 Februari 1954, itu menambahkan.
Proyek pun dalam genggaman. Namun, apa mau dikata, bisnis tak semudah
yang mereka kira. Karena satu dan lain hal, sejumlah proyek yang
dijalani kemudian tidak berjalan mulus. Kerugian pun membelit. Tak
mengherankan, bank akhirnya memasukkan mereka sebagai pihak tak layak
kredit. Dan tak pelak lagi, Budi pun pusing tujuh keliling kendati dia
bukanlah orang nomor satu sebagaimana saat ini.
Sebenarnya, di tengah perusahaan patungan yang gonjang-ganjing itu, bisa
saja dia hengkang dan bergabung dengan perusahaan mapan yang memang
banyak membutuhkan tenaga ahli seperti dirinya. Hanya saja, di benaknya
terbayang-bayang nasib 15 karyawan lain yang menggantungkan hidup dari
perusahaan itu. Buramnya kondisi perusahaan akhirnya justru melecutnya
untuk bertahan dan mengembangkannya agar lebih maju.
Gayung pun bersambut. Pada 1991 Budi didapuk untuk mengambil alih
kendali perusahaan, menjadi presdir. Setelah itu, dia pun bergerak
cepat. Dia mendorong timnya mencari peluang-peluang baru agar perusahaan
bisa bertahan. Beruntung, tak lama setelah itu GH mulai banyak
menggarap proyek jaringan kabel telepon di Surabaya, Jakarta dan Batam.
Tampaknya Dewi Fortuna memang tengah menghampiri. Tahun 1994, teknologi
telepon seluler mulai muncul. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Budi
membawa GH terjun sebagai penyedia infrastruktur. Dia menawarkan jasanya
ke perusahaan-perusahaan operator seluler.
Cara ini tak terlalu sulit dilakukan karena sebelumnya rata-rata pemain
seluler sudah kenal dan percaya dengan awak GH. Di industri seluler,
sejak awal produk yang mereka sediakan adalah power system – unit alat
yang merupakan bagian dari BTS. Dan bisnis power system merupakan berkah
tersendiri bagi mereka sebab dalam perjalanannya, bisnis itu menjadi
tulang punggung. "Bahkan hingga saat ini produk ini menjadi kontributor
terbesar perusahaan," kata Budi mengakuinya.
Tak lama setelah mengeluarkan power system, GH mengembangkan perangkat
mobile BTS yang sangat dibutuhkan operator seluler, terutama untuk
menjangkau daerah-daerah terpencil. Di mobile BTS ini, bisa dikatakan
Hariff merupakan pelopor dan hingga kini jumlah produksinya sudah lebih
dari 3 ribu unit.
Tanpa dinyana, bisnis yang awalnya terseok-seok itu kian moncer setelah
masuk ke industri seluler. Bahkan pada tahun 2000, Budi dkk. memperluas
bisnisnya sehingga mendirikan anak usaha. Seiring dengan kesuksesan yang
diraih, mereka memang memimpikan sebanyak mungkin pekerjaan telko di
Indonesia dikerjakan perusahaan lokal. GH yang sebelumnya lebih banyak
bermain di sisi elektroniknya kemudian juga tertarik ke industri
mekanisnya. Maka, didirikanlah PT Telehouse Engineering (Telehouse),
yang membuat perangkat mekanik untuk menunjang infrastruktur telko –
contohnya, membuat menara BTS.
Tak berhenti di situ, tahun 2004 mereka mendirikan PT Sarana Inti
Persada (SIP) yang bisnisnya menyewakan infrastruktur telko. Bisnis ini
dikembangkan karena mereka melihat makin banyak perusahaan operator
seluler yang tidak ingin membangun sendiri infrastruktur BTS-nya, tetapi
menyewa milik pihak ketiga. Dalam lingkup GH, SIP sekaligus juga
ditujukan untuk menampung produk-produk Telehouse. Hingga saat ini ada
sekitar 110 menara yang telah dibangun dan disewakan oleh SIP. Baik
Telehouse maupun SIP merupakan pilar penting GH saat ini. "Omset
Telehouse tahun lalu Rp 230 miliar dan bisa membangun hingga 7.000 BTS
dalam satu tahun," ujar Budi seraya menjelaskan, pihaknya punya
perwakilan di 32 kota Indonesia untuk membantu service dan logistik dari
bisnis ini.
Rupanya kesuksesan demi kesuksesan yang sudah diraih tak membuat 6
sekawan itu puas. Terbukti mereka terus melakukan investasi di
ceruk-ceruk baru bisnis telko. Tahun 2006, contohnya, mereka masuk
mengerjakan proyek WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave
Access). Saat itu, Budi dkk. merasa tertantang ketika pemerintah
menawarkan tender teknologi pita lebar (broadband wireless access/BWA)
dengan memprioritaskan konten lokal. "Saya bergerak di industri ini
sejak 1980-an dan tidak pernah ada local content. Local content tidak
lebih dari 5%. Pengalaman sebelumnya menunjukkan betapa sulit meyakinkan
customer karena sudah minded dengan produk luar. Padahal, kita ini
negara customer, negara lain berebut menjual ke sini," ujarnya dengan
nada menggebu-gebu.
Sebab itu, ketika pemerintah mengumumkan tender BWA, Budi dkk. sangat
antusias menyambutnya. Mereka punya keyakinan: dengan menggunakan
perangkat dalam negeri, perusahaan operator akan mendapatkan harga jauh
lebih murah, bisa menghemat 50%. Didorong keyakinan itu, mereka pun tak
ragu mengucurkan investasi awal Rp 10 miliar di bisnis WiMax. Untuk
mewadahi bisnis ini, didirikanlah anak usaha baru, PT Telemedia
Nusantara.
Selepas tahun 2000, GH memang melaju cepat. Tahun 2008, Budi dkk.
melihat peluang manis untuk mengakuisisi perusahaan yang memiliki
lisensi BWA 3,3 GHz, yakni PT Starcom Solusindo (Starcom). "Itu
kesempatan bagus bagi kami sehingga kami punya radio, punya lisensi dan
frekuensinya. Makanya bisa menjadi operator. Kami bisa menyediakan
Internet murah," katanya semringah. Starcom yang 100% sahamnya diakusisi
GH itu, sampai April 2009 mengembangkan pasar dan jaringan di 11 region
dari target 14 region. "Yang sudah dipasang di Batam, Kalimantan,
Bangka dan Bali. Untuk Surabaya sedang digarap," ujar Budi. Selanjutnya
manajemen GH berencana menggabungkan (merger) Starcom dengan PT
Telemedia Nusantara. Maklum, Telemedia Nusantara punya lisensi ISP
sehingga kalau digabung akan sangat sinergis.
Di tengah mulusnya perjalanan itu, tak sedikit aral yang menguji
entrepreneurship 6 sekawan. Pada saat krismon 1998, contohnya. Omset
mereka terganggu. Beruntung, mereka seperti telah melakukan persiapan
sebelumnya, yakni lewat produksi satu perangkat yang fungsinya
menggandakan kemampuan transmisi. "Saat itu untuk mendapatkan alat ini
begitu sulit. Transmisi masih jarang. Umumnya perusahaan menggunakan
teknologi microwave yang kapasitasnya hanya 4 MB. Nah, alat itu bisa
berfungsi sebagai pengganda sehingga kemampuan transmisinya bisa 8 MB,"
papar Budi.
Menurut Budi, hanya ada lima perusahaan di dunia yang bisa membuat
perangkat serupa, dan pihaknya bisa menjual hingga ratusan modul dengan
harga yang mampu bersaing dengan produk impor – 80% lebih murah. Kok
bisa?
Ketika krisis menerpa, GH punya stok produk itu cukup banyak -- dibiayai
dengan harga produksi waktu kurs dolar masih di level Rp 2.500. Dengan
banderol jual di level Rp 16 ribu, bisa ditebak keuntungan besar bisa
diraup. Tak mengherankan, walau omset saat itu turun dari Rp 20 miliar
menjadi Rp 5 miliar, Budi dkk.masih menuai untung karena semuanya produk
lama. "Itulah yang menyelamatkan perusahaan ini dari badai krismon.
Kami bisa hidup tanpa ada PHK," kata Budi mengenang. Setelah krismon
itu, kinerja GH bak anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Melesat.
Omsetnya tumbuh terus berlipat tiap tahun.
"Mensyukuri apa yang diberikan Allah," ungkap Budi yang terus berusaha
menjadi entrepreneur spiritualis ini tentang kunci suksesnya.
Menurutnya, tidak perlu muluk-muluk mencari bisnis lain yang tidak
dikuasai. "Kita fokus saja pada bidang yang kita kuasai." Baginya, yang
terpenting di bisnis infrastruktur telko ini adalah kepercayaan
pelanggan. Trust. Sebab itu, pekerjaan membina kepercayaan pula yang
terus dikembangkannya. Kepercayaan sendiri tercipta melalui
pengalaman-pengalaman dalam pelayanan dengan cara terus memberikan
solusi terbaik untuk pelanggan. "Kami punya ujung tombak di seluruh
Indonesia sehingga kalau ada masalah, bisa melakukan penanganan cepat,"
dia menceritakan kiatnya.
Akan tetapi, selain fokus, tentu saja jalur pemasaran juga dikembangkan.
Sejauh ini, promosi yang dijalankan 6 sekawan lebih banyak dari mulut
ke mulut. Selain itu, juga melalui personal branding dari para pemimpin
GH yang memang telah dikenal di industri seluler Tanah Air. Toh, di atas
semua, Budi mengungkap bahwa ujung-ujungnya adalah melalui
profesionalisme dalam mengerjakan keinginan pelanggan.
Salah satu mitra GH adalah Nokia Siemens Network (NSN) yang di Indonesia
banyak membangun infrstruktur jaringan seluler. Budi dkk. bermitra
dengan Nokia sejak 2001. NSN banyak bekerja sama dengan GH untuk
membangun lokasi-lokasi pemancar dan penerima GSM di wilayah di
Indonesia, mulai dari kota besar hingga kota kecamatan. Sebagai mitra,
GH menyediakan perangkat catu daya yang diperlukan di lokasi.
Selain NSN, Telkomsel juga masuk dalam deretan mitra GH. Menurut Bambang
Utomo, GM Pengembangan Area Khusus Telkomsel, kerja sama dengan GH
terjalin sejak Telkomsel berdiri. Bambang menilai GH sebagai perusahaan
infrastruktur telko yang punya kemampuan baik dalam mendukung Telkomsel.
Apalagi, Telkomsel memang punya visi memajukan perusahaan lokal. "Kalau
bisa diproduksi di dalam negeri, mengapa tidak? Jadi, kami pilih
partner lokal yang punya kemampuan," ujar Bambang.
GH banyak bekerja sama dengan Telkomsel, terutama untuk menyediakan
power system. Ketika Telkomsel ekspansi besar-besaran dalam pembangunan
BTS di berbagai daerah, GH ikut terlibat. "Banyak perusahaan yang
menawarkan power system, namun siapa yang teknologinya cocok dan
harganya sesuai itu yang dipilih," Bambang memberi alasan. Selain itu,
Telkomsel juga bekerja sama dengan GH untuk pengadaan combat mobile BTS
yang difungsikan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau sinyal jika
ada event tertentu.
Yang jelas, sejauh ini pengalaman kerja sama dengan GH dinilai cukup
memuaskan. Bambang mengakui 6 sekawan memberikan dukungan cukup baik.
Ketika dibutuhkan, bisa langsung mengelola masalah dan memberikan solusi
sesuai dengan kebutuhan. "Ia punya organisasi di berbagai provinsi
sehingga kalau ada gangguan pemeliharaan, bisa cepat ditangani,"
ungkapnya. Tenaga ahlinya juga kompeten di bidangnya. Meski demikian,
dia menyarankan agar dalam menggarap proyek WiMax, Budi dkk. terus
meningkatkan kualitas dan memberikan harga bersaing karena pemain WiMax
dari Korea Selatan mampu menawarkan produk berkualitas dengan harga
lebih murah.
Pemerhati industri telko, Gunawan Wibisono, melihat GH cukup
berpengalaman serta punya SDM dan organisasi yang solid. Manajemennya
mampu menangkap secara jeli peluang bisnis di telko seluler yang hampir
semuanya dikuasai asing. Bagaimana prospek GH?
Kebutuhan akan perangkat BWA di Indonesia sangatlah besar, apalagi
sekarang pemerintah mengeluarkan regulasi BWA yang makin kondusif bagi
perkembangan bisnis di industri ini. Prospek GH, menurut Gunawan, sangat
tergantung pada strategi yang dijalankan karena di segmen BWA ada
kompetitor seperti TRG dan LEN yang juga pemain lokal.
Gunawan menyarankan, agar tetap eksis, GH mesti terus menghasilkan
produk-produk perangkat telko yang mengikuti perkembangan teknologi.
"Setelah WiMax 16d, tentu harus bisa dilanjutkan atau berevoluasi ke
WiMAX 16e atau 16m. Dan bila dimungkinkan, siap-siap menangkap peluang
pengembangan teknologi LTE," katanya. Juga, berkolaborasi dengan mitra
asing yang kredibel. Menurutnya, "Kolaborasi adalah langkah yang efisien
dan efektif dalam mengembangkan bisnis saat ini."
Selaku komandan GH, Budi optimistis industri telko di Indonesia akan
terus menarik sehingga perusahaannya tetap punya prospek cerah. "Saat
Indonesia booming satelit, banyak perusahaan AS kaya raya. Begitu juga
waktu booming seluler. Dan saat ini giliran WiMax. Industri seluler
sudah mencapai 120 juta pelanggan dalam 15 tahun terakhir. Harapannya,
industri WiMax juga mengalami nasib sama, semakin banyak orang yang
mengakses Internet," kata Budi menjelaskan visinya.
Yang jelas, Budi dkk. berusaha tidak tertinggal dengan terus berinovasi.
"Kami selalu berpikir untuk memberi kontribusi untuk bangsa, dan kami
tidak ingin jadi follower," kata Budi tandas. Untuk itu pula, kini
pihaknya menyiapkan pengembangan bisnis konten yang makin dilirik pelaku
network provider dan operator. Bagaimana kiprah GH ke depan, masih
ditunggu. Fakta yang pasti, kini mereka sudah punya pabrik dan
perkantoran seluas 1,3 hektare di Jl. Soekarno-Hatta, Bandung.
Reportase: M. Husni Mubarak
URL : http://202.59.162.82/swamajalah/tren/details.php?cid=1&id=9488
|
|