Sabtu, 24 Desember 2011

Sejarah Singkat PT.Hariff Daya Tunggal Engineering & Hariff Group - Enam Sekawan Jago Telko

Sumber : Majalah SWA

Enam Sekawan Jagoan Telko
Kamis, 16 Juli 2009
Oleh : Sudarmadi  
Berbekal tekad dan kompetensi, 6 sahabat ini sukses mengembangkan bisnis telekomunikasi dengan omset Rp 800 miliar. Bagaimana liku-likunya?
Kesuksesan hanyalah garis lanjut bagi siapa pun yang mau menekuni bidang yang menjadi spesialisasinya secara fokus dan terus mengembangkan diri.

Prinsip itu telah dilakoni dengan tepat oleh Budi Permana dan lima kawannya di bisnis telekomunikasi (telko). Mengibarkan Grup Hariff (GH), 6 sekawan itu terbilang sukses. Memproduksi aneka perangkat mekanik untuk menunjang industri infrastruktur telko – power system, alat transmisi, base transceiver station (BTS/mobile ataupun fix), produk berbasis WiMax – dan menjadi penyedia jaringan broadband wireless access, kiprah mereka cukup disegani. Pelanggannya hampir seluruh operator seluler di Tanah Air. Kinerja perusahaan yang kini menampung 700 karyawan itu pun ciamik: omsetnya sekitar Rp 800 miliar. Dan awal 2009 ini, mereka juga memperoleh penghargaan prestisius: Rintisan Teknologi dari Presiden RI, atas prestasi mereka dalam melakukan invensi teknologi di berbagai bidang yang mereka garap.

GH memang tengah melejit di bisnis telko nasional. Yang menarik, siapa sangka bila semuanya bermula dari nol. Ya, hanya bermodal kepercayaan.

Bila dikilas balik, cikal-bakal kelompok usaha ini dimulai dengan berkumpulnya 6 sekawan – lima di antaranya alumni Institut Teknologi Bandung – pada 1982. Sejak awal berkolaborasi, mereka memang ingin mendirikan perusahaan bidang telko. "Keenam orang ini pada dasarnya memang tukang ngoprek barang. Tapi kami juga punya mimpi untuk meningkatkan produksi dalam negeri lewat kemampuan anak bangsa," kata Budi Permana, satu dari 6 sekawan yang sekarang didapuk jadi Presdir PT Hariff Daya Tunggal Engineering.

Mereka berenam sebelumnya aktif di Radio 8 EH ITB – radio siaran mahasiswa ITB. Setelah berpencar mencari peruntungan selepas lulus kuliah, mereka akhirnya bertemu dan bersama lagi. "Ada sejarah cukup panjang sebelumnya. Satu sama lain sudah percaya, lalu bertemu lagi bikin usaha," ujar Budi, lulusan Teknik Elektro ITB (angkatan 1974).

Awalnya, bisnis mereka bisa dikatakan menyambar sana-sini. Mulai dari proyek telko HF, VHF dan UHF, dua tahun berikutnya (1986) mereka sempat membuat perusahaan konsultan telko. Namun, dari pergerakan tak berbentuk itulah muncul jaringan bisnis berikut kepercayaan di dalamnya. Kepercayaan terhadap kemampuan 6 sekawan ini di dunia infrastuktur telko.

Roda waktu bergerak, bisnis pun menggelinding. Tahun 1988, mereka mendapatkan proyek besar di Sangatta, Kutai, Kalimantan Timur: mendirikan stasiun bumi di PT Kaltim Prima Coal. Dikatakan besar karena nilai proyeknya mencapai Rp 2,3 miliar. Angka yang terbilang akbar pada saat itu.

Sayangnya, bisnis yang siap menggelinding sempat tertahan. Di tengah tawaran yang menggiurkan, 6 sahabat menemui kendala karena belum punya “bendera” yang bisa dijadikan kendaraan untuk ikut tender proyek. Tak hilang akal, akhirnya mereka mengakuisisi perusahaan bidang general trading bernama PT Hariff Tunggal Engineering, milik Ahmad Shukri Bay yang saat ini menjadi komisarisnya.

Satu kendala dilewati, kendala lain muncul. Mereka tak punya modal untuk ikut tender sebesar itu. Sebagai new entrepreneur, mereka baru meretas karya. Namun, lagi-lagi mereka tak putus asa. Bank menjadi sandaran dengan menjual kompetensi dan rasa saling percaya. "Kepada bank saya jelaskan bahwa kami punya bisnis dengan prospek seperti ini, kemampuan kami begini. Saya modal dengkul tidak punya apa-apa,” kata Budi mengenang. “Untungnya, pada saat itu pemberian pembiayaan dari bank begitu mudah sehingga soal keuangan tidak menjadi masalah," kelahiran Tasikmalaya, 8 Februari 1954, itu menambahkan.

Proyek pun dalam genggaman. Namun, apa mau dikata, bisnis tak semudah yang mereka kira. Karena satu dan lain hal, sejumlah proyek yang dijalani kemudian tidak berjalan mulus. Kerugian pun membelit. Tak mengherankan, bank akhirnya memasukkan mereka sebagai pihak tak layak kredit. Dan tak pelak lagi, Budi pun pusing tujuh keliling kendati dia bukanlah orang nomor satu sebagaimana saat ini.

Sebenarnya, di tengah perusahaan patungan yang gonjang-ganjing itu, bisa saja dia hengkang dan bergabung dengan perusahaan mapan yang memang banyak membutuhkan tenaga ahli seperti dirinya. Hanya saja, di benaknya terbayang-bayang nasib 15 karyawan lain yang menggantungkan hidup dari perusahaan itu. Buramnya kondisi perusahaan akhirnya justru melecutnya untuk bertahan dan mengembangkannya agar lebih maju.

Gayung pun bersambut. Pada 1991 Budi didapuk untuk mengambil alih kendali perusahaan, menjadi presdir. Setelah itu, dia pun bergerak cepat. Dia mendorong timnya mencari peluang-peluang baru agar perusahaan bisa bertahan. Beruntung, tak lama setelah itu GH mulai banyak menggarap proyek jaringan kabel telepon di Surabaya, Jakarta dan Batam.

Tampaknya Dewi Fortuna memang tengah menghampiri. Tahun 1994, teknologi telepon seluler mulai muncul. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Budi membawa GH terjun sebagai penyedia infrastruktur. Dia menawarkan jasanya ke perusahaan-perusahaan operator seluler.

Cara ini tak terlalu sulit dilakukan karena sebelumnya rata-rata pemain seluler sudah kenal dan percaya dengan awak GH. Di industri seluler, sejak awal produk yang mereka sediakan adalah power system – unit alat yang merupakan bagian dari BTS. Dan bisnis power system merupakan berkah tersendiri bagi mereka sebab dalam perjalanannya, bisnis itu menjadi tulang punggung. "Bahkan hingga saat ini produk ini menjadi kontributor terbesar perusahaan," kata Budi mengakuinya.

Tak lama setelah mengeluarkan power system, GH mengembangkan perangkat mobile BTS yang sangat dibutuhkan operator seluler, terutama untuk menjangkau daerah-daerah terpencil. Di mobile BTS ini, bisa dikatakan Hariff merupakan pelopor dan hingga kini jumlah produksinya sudah lebih dari 3 ribu unit.

Tanpa dinyana, bisnis yang awalnya terseok-seok itu kian moncer setelah masuk ke industri seluler. Bahkan pada tahun 2000, Budi dkk. memperluas bisnisnya sehingga mendirikan anak usaha. Seiring dengan kesuksesan yang diraih, mereka memang memimpikan sebanyak mungkin pekerjaan telko di Indonesia dikerjakan perusahaan lokal. GH yang sebelumnya lebih banyak bermain di sisi elektroniknya kemudian juga tertarik ke industri mekanisnya. Maka, didirikanlah PT Telehouse Engineering (Telehouse), yang membuat perangkat mekanik untuk menunjang infrastruktur telko – contohnya, membuat menara BTS.

Tak berhenti di situ, tahun 2004 mereka mendirikan PT Sarana Inti Persada (SIP) yang bisnisnya menyewakan infrastruktur telko. Bisnis ini dikembangkan karena mereka melihat makin banyak perusahaan operator seluler yang tidak ingin membangun sendiri infrastruktur BTS-nya, tetapi menyewa milik pihak ketiga. Dalam lingkup GH, SIP sekaligus juga ditujukan untuk menampung produk-produk Telehouse. Hingga saat ini ada sekitar 110 menara yang telah dibangun dan disewakan oleh SIP. Baik Telehouse maupun SIP merupakan pilar penting GH saat ini. "Omset Telehouse tahun lalu Rp 230 miliar dan bisa membangun hingga 7.000 BTS dalam satu tahun," ujar Budi seraya menjelaskan, pihaknya punya perwakilan di 32 kota Indonesia untuk membantu service dan logistik dari bisnis ini.

Rupanya kesuksesan demi kesuksesan yang sudah diraih tak membuat 6 sekawan itu puas. Terbukti mereka terus melakukan investasi di ceruk-ceruk baru bisnis telko. Tahun 2006, contohnya, mereka masuk mengerjakan proyek WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access). Saat itu, Budi dkk. merasa tertantang ketika pemerintah menawarkan tender teknologi pita lebar (broadband wireless access/BWA) dengan memprioritaskan konten lokal. "Saya bergerak di industri ini sejak 1980-an dan tidak pernah ada local content. Local content tidak lebih dari 5%. Pengalaman sebelumnya menunjukkan betapa sulit meyakinkan customer karena sudah minded dengan produk luar. Padahal, kita ini negara customer, negara lain berebut menjual ke sini," ujarnya dengan nada menggebu-gebu.

Sebab itu, ketika pemerintah mengumumkan tender BWA, Budi dkk. sangat antusias menyambutnya. Mereka punya keyakinan: dengan menggunakan perangkat dalam negeri, perusahaan operator akan mendapatkan harga jauh lebih murah, bisa menghemat 50%. Didorong keyakinan itu, mereka pun tak ragu mengucurkan investasi awal Rp 10 miliar di bisnis WiMax. Untuk mewadahi bisnis ini, didirikanlah anak usaha baru, PT Telemedia Nusantara.

Selepas tahun 2000, GH memang melaju cepat. Tahun 2008, Budi dkk. melihat peluang manis untuk mengakuisisi perusahaan yang memiliki lisensi BWA 3,3 GHz, yakni PT Starcom Solusindo (Starcom). "Itu kesempatan bagus bagi kami sehingga kami punya radio, punya lisensi dan frekuensinya. Makanya bisa menjadi operator. Kami bisa menyediakan Internet murah," katanya semringah. Starcom yang 100% sahamnya diakusisi GH itu, sampai April 2009 mengembangkan pasar dan jaringan di 11 region dari target 14 region. "Yang sudah dipasang di Batam, Kalimantan, Bangka dan Bali. Untuk Surabaya sedang digarap," ujar Budi. Selanjutnya manajemen GH berencana menggabungkan (merger) Starcom dengan PT Telemedia Nusantara. Maklum, Telemedia Nusantara punya lisensi ISP sehingga kalau digabung akan sangat sinergis.

Di tengah mulusnya perjalanan itu, tak sedikit aral yang menguji entrepreneurship 6 sekawan. Pada saat krismon 1998, contohnya. Omset mereka terganggu. Beruntung, mereka seperti telah melakukan persiapan sebelumnya, yakni lewat produksi satu perangkat yang fungsinya menggandakan kemampuan transmisi. "Saat itu untuk mendapatkan alat ini begitu sulit. Transmisi masih jarang. Umumnya perusahaan menggunakan teknologi microwave yang kapasitasnya hanya 4 MB. Nah, alat itu bisa berfungsi sebagai pengganda sehingga kemampuan transmisinya bisa 8 MB," papar Budi.

Menurut Budi, hanya ada lima perusahaan di dunia yang bisa membuat perangkat serupa, dan pihaknya bisa menjual hingga ratusan modul dengan harga yang mampu bersaing dengan produk impor – 80% lebih murah. Kok bisa?

Ketika krisis menerpa, GH punya stok produk itu cukup banyak -- dibiayai dengan harga produksi waktu kurs dolar masih di level Rp 2.500. Dengan banderol jual di level Rp 16 ribu, bisa ditebak keuntungan besar bisa diraup. Tak mengherankan, walau omset saat itu turun dari Rp 20 miliar menjadi Rp 5 miliar, Budi dkk.masih menuai untung karena semuanya produk lama. "Itulah yang menyelamatkan perusahaan ini dari badai krismon. Kami bisa hidup tanpa ada PHK," kata Budi mengenang. Setelah krismon itu, kinerja GH bak anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Melesat. Omsetnya tumbuh terus berlipat tiap tahun.

"Mensyukuri apa yang diberikan Allah," ungkap Budi yang terus berusaha menjadi entrepreneur spiritualis ini tentang kunci suksesnya. Menurutnya, tidak perlu muluk-muluk mencari bisnis lain yang tidak dikuasai. "Kita fokus saja pada bidang yang kita kuasai." Baginya, yang terpenting di bisnis infrastruktur telko ini adalah kepercayaan pelanggan. Trust. Sebab itu, pekerjaan membina kepercayaan pula yang terus dikembangkannya. Kepercayaan sendiri tercipta melalui pengalaman-pengalaman dalam pelayanan dengan cara terus memberikan solusi terbaik untuk pelanggan. "Kami punya ujung tombak di seluruh Indonesia sehingga kalau ada masalah, bisa melakukan penanganan cepat," dia menceritakan kiatnya.

Akan tetapi, selain fokus, tentu saja jalur pemasaran juga dikembangkan. Sejauh ini, promosi yang dijalankan 6 sekawan lebih banyak dari mulut ke mulut. Selain itu, juga melalui personal branding dari para pemimpin GH yang memang telah dikenal di industri seluler Tanah Air. Toh, di atas semua, Budi mengungkap bahwa ujung-ujungnya adalah melalui profesionalisme dalam mengerjakan keinginan pelanggan.

Salah satu mitra GH adalah Nokia Siemens Network (NSN) yang di Indonesia banyak membangun infrstruktur jaringan seluler. Budi dkk. bermitra dengan Nokia sejak 2001. NSN banyak bekerja sama dengan GH untuk membangun lokasi-lokasi pemancar dan penerima GSM di wilayah di Indonesia, mulai dari kota besar hingga kota kecamatan. Sebagai mitra, GH menyediakan perangkat catu daya yang diperlukan di lokasi.

Selain NSN, Telkomsel juga masuk dalam deretan mitra GH. Menurut Bambang Utomo, GM Pengembangan Area Khusus Telkomsel, kerja sama dengan GH terjalin sejak Telkomsel berdiri. Bambang menilai GH sebagai perusahaan infrastruktur telko yang punya kemampuan baik dalam mendukung Telkomsel. Apalagi, Telkomsel memang punya visi memajukan perusahaan lokal. "Kalau bisa diproduksi di dalam negeri, mengapa tidak? Jadi, kami pilih partner lokal yang punya kemampuan," ujar Bambang.

GH banyak bekerja sama dengan Telkomsel, terutama untuk menyediakan power system. Ketika Telkomsel ekspansi besar-besaran dalam pembangunan BTS di berbagai daerah, GH ikut terlibat. "Banyak perusahaan yang menawarkan power system, namun siapa yang teknologinya cocok dan harganya sesuai itu yang dipilih," Bambang memberi alasan. Selain itu, Telkomsel juga bekerja sama dengan GH untuk pengadaan combat mobile BTS yang difungsikan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau sinyal jika ada event tertentu.

Yang jelas, sejauh ini pengalaman kerja sama dengan GH dinilai cukup memuaskan. Bambang mengakui 6 sekawan memberikan dukungan cukup baik. Ketika dibutuhkan, bisa langsung mengelola masalah dan memberikan solusi sesuai dengan kebutuhan. "Ia punya organisasi di berbagai provinsi sehingga kalau ada gangguan pemeliharaan, bisa cepat ditangani," ungkapnya. Tenaga ahlinya juga kompeten di bidangnya. Meski demikian, dia menyarankan agar dalam menggarap proyek WiMax, Budi dkk. terus meningkatkan kualitas dan memberikan harga bersaing karena pemain WiMax dari Korea Selatan mampu menawarkan produk berkualitas dengan harga lebih murah.

Pemerhati industri telko, Gunawan Wibisono, melihat GH cukup berpengalaman serta punya SDM dan organisasi yang solid. Manajemennya mampu menangkap secara jeli peluang bisnis di telko seluler yang hampir semuanya dikuasai asing. Bagaimana prospek GH?

Kebutuhan akan perangkat BWA di Indonesia sangatlah besar, apalagi sekarang pemerintah mengeluarkan regulasi BWA yang makin kondusif bagi perkembangan bisnis di industri ini. Prospek GH, menurut Gunawan, sangat tergantung pada strategi yang dijalankan karena di segmen BWA ada kompetitor seperti TRG dan LEN yang juga pemain lokal.

Gunawan menyarankan, agar tetap eksis, GH mesti terus menghasilkan produk-produk perangkat telko yang mengikuti perkembangan teknologi. "Setelah WiMax 16d, tentu harus bisa dilanjutkan atau berevoluasi ke WiMAX 16e atau 16m. Dan bila dimungkinkan, siap-siap menangkap peluang pengembangan teknologi LTE," katanya. Juga, berkolaborasi dengan mitra asing yang kredibel. Menurutnya, "Kolaborasi adalah langkah yang efisien dan efektif dalam mengembangkan bisnis saat ini."

Selaku komandan GH, Budi optimistis industri telko di Indonesia akan terus menarik sehingga perusahaannya tetap punya prospek cerah. "Saat Indonesia booming satelit, banyak perusahaan AS kaya raya. Begitu juga waktu booming seluler. Dan saat ini giliran WiMax. Industri seluler sudah mencapai 120 juta pelanggan dalam 15 tahun terakhir. Harapannya, industri WiMax juga mengalami nasib sama, semakin banyak orang yang mengakses Internet," kata Budi menjelaskan visinya.

Yang jelas, Budi dkk. berusaha tidak tertinggal dengan terus berinovasi. "Kami selalu berpikir untuk memberi kontribusi untuk bangsa, dan kami tidak ingin jadi follower," kata Budi tandas. Untuk itu pula, kini pihaknya menyiapkan pengembangan bisnis konten yang makin dilirik pelaku network provider dan operator. Bagaimana kiprah GH ke depan, masih ditunggu. Fakta yang pasti, kini mereka sudah punya pabrik dan perkantoran seluas 1,3 hektare di Jl. Soekarno-Hatta, Bandung.


Reportase: M. Husni Mubarak

URL : http://202.59.162.82/swamajalah/tren/details.php?cid=1&id=9488