Jumat, 25 November 2011

Kisah Mengharukan Penuh Inspirasi Untuk Para Istri dan Suami - Ketika Suamiku Pergi

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.


sumber:http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/

Kamis, 24 November 2011

Mungkin Karena Kita

Mungkin karena kita masih tetap di sini, di balik selimut yang hangat serta bantal kepala yang empuk untuk ditiduri, kita masih pulas di sana, dalam buaian mimpi yang terus menjejali, juga kelelahan-kelelahan yang sering terjadi karena memang kita meng-alpa-i diri. Kita memang masih di sini, di tumpukan kemalasan sedang matahari sudah mulai terbit dari timur, sedang embun pagi mulai membasahi bumi yang dingin, di subuh yang semakin beku ini, kita telah lupa satu hal, bahwa ada kenikmatan lain yang telah kita lalaikan bersama. Ada kesyukuran yang terlambat untuk terucap, sedang pagi sudah mulai datang dan meninggalkan subuh, sedang langit sudah mulai terang menyinari.
Mungkin karena kita masih enggan untuk jujur pada diri, pada tiap keringat yang berpeluh dalam hari. Pada penggal-penggal hati yang semakin hari terus saja terkotori, pada tiap perkataan yang senantiasa tak lebih dari prasasti yang tak berarti. Kita memang telah sering membohongi diri, atau mungkin kita sendiri yang tak sadar telah membohongi diri ? kebohongan pada hati, bahwa sejatinya ia sedang goyah karena tak bisa memiliki fitrahnya, fitrahnya yang cenderung tenang ketika Allah di sana, fitrahnya yang selalu damai ketika cinta yang menyala itu hanya untuk Allah, fitrahnya yang bening, bahwa dekapan ukhuwah itu akan terasa ketika iman melekat kepadanya. Kita telah lupa dan membohongi diri sendiri, bahwa sebelum kita lahir di dunia ini, Allah telah mengambil janji dari diri kita agar tak sering mengingkari apa yang akan diperintahkan-Nya.
Mungkin karena kita masih sering malas untuk berbenah. Berbenah atas amalan-amalan kita yang sering bolong, berbenah atas niat-niat hari yang tak sebening pagi, berbenah untuk langkah-langkah kaki yang tak lagi lurus pada jalan yang abadi, berbenah untuk sujud penghambaan yang semakin hari semakin terasa hambar di hati, berbenah untuk istiqamah yang masih jauh dari dalam diri, berbenah untuk sebuah tadhiyah (pengorbanan) yang masih payah bersama jalan ini, berbenah untuk setiap waktu kita yang habis dengan perkara dunia yang sempit lagi tak punya arti. Kita memang sering malas untuk berubah, namun terlalu rajin untuk mengejar bahagia di dunia, sedang akhirat adalah negeri abadi yang bisa jadi indah atau buruk bagi diri.
Mungkin karena kita masih sering memiliki banyak alasan. Alasan untuk melambatkan waktu shalat kita, alasan untuk tak lagi menyempurnakan yang wajib dengan rawatib kita, alasan untuk tak lagi berlama-lama dzikir bersama Allah setelah lelah dalam hari, alasan untuk tak punya waktu di pagi hari, sedang Dhuha sudah mulai mengintip-i bumi, alasan untuk tiap kemalasan kita di malam hari, alasan untuk tak lagi segera melakukan kebaikan-kebaikan bagi orang lain, kita punya banyak sekali alasan untuk membenar-i, padahal sejatinya ia hanyalah cara agar kita punya jawaban yang pasti pada setan yang menjejali, bahwa paling tidak, ia telah mampu menyesati. Kita memang terlalu banyak beralasan, hingga tak lagi punya jawaban untuk tiap masalah yang menimpa diri. Kalau sudah begini, apakah kita akan berani menentang Allah jika DIA-pun PUNYA ALASAN yang pasti untuk menghukumi kita ? sedang bagi DIA, diri ini hanyalah kecil tak berarti.
Mungkin karena kita masih tetap di sini, pada titik awal yang selalu stagnan untuk sebuah PERUBAHAN AKHIRAT, pada kata ENGGAN yang selalu mengajari diri agar menghentikan langkah yang benar-benar menguati, pada rasa MALAS yang lebih sering datang menghampiri, apalagi ketika suara-suara pengingat dari Allah mulai tiba dan kita dengari, juga pada BANYAKNYA ALASAN yang kita cipta sendiri. Semuanya.. adalah sedikit dari banyak cara untuk mampu menohok diri kita. Bahwa “Mungkin KARENA kita memang telah pergi meninggalkan kampung akhirat.. kita telah lupa padanya, dan bersorak-sorak menikmati dunia yang semakin sempit dan menyesakkan.. “
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr : 19)

Selasa, 01 November 2011

VOTE KOMODO... Konspirasikah???

Liputan6.com, Jakarta: Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern, Swiss, membeberkan misteri Yayasan New7Wonders, penyelenggara tujuh keajaiban dunia yang di antaranya menomisasikan Taman Nasional Komodo. Bahkan, Duta Besar RI di Swiss Djoko Susilo menegaskan bahwa pihaknya meragukan Yayasan New7Wonders
"Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern, Swiss, merasa perlu untuk memberikan penjelasan sebagai berikut," kata Djoko dalam surat elektronik bertanggal 31 Oktober 2011. Dan inilah kronologi yang dimaksud Djoko.
 1. Desember 2007, N7W mengumumkan peresmian kampanye. Pada tahap awal terpilih tiga destinasi wisata Indonesia dan yang masuk nominasi adalah Taman Nasional Komodo, Danau Toba, dan Anak Gunung Krakatau, bersama dengan 440 nominasi dari 220 Negara.

2. Agustus 2008, Indonesia mendaftar sebagai OSC dan membayar biaya administrasi masing-masing destinasi USD 199.
 3. Pada 21 Juli 2009, Taman Nasional Komodo menjadi Indonesia National Nominees dan menjadi salah satu dari 28 nominasi finalis.
 4. Februari 2010, pihak N7W menawari Indonesia untuk menjadi tuan rumah deklarasi N7W yang akan dilaksanakan pada 11 November 2010.
 5. Setelah menjajaki dan beberapa kali mengadakan pertemuan, pada 25 November 2010 Indonesia menyatakan berminat menjadi tuan rumah.
 6. Pada 6 Desember, pihak N7W menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah dengan liscense fee sebesar 10 juta dolar AS.
 7. Pada 29 Desember 2010, N7W  mengeluarkan ancaman melalui Kepala Komunikasi N7W Eamon Fitzgerald yang memberikan batas waktu sampai 31 Januari 2011 kepada pemerintah Indonesia, untuk menyatakan kesediaannya menjadi tuan rumah. Jika sampai batas waktu itu tidak ada ketegasan, maka N7W akan menangguhkan status Taman Nasional Komodo sebagai finalis N7W.
 8. Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (dahulu Kembudpar) RI, pada 2 Februari 2011 melayangkan surat elektronik kepada N7W dan memprotes rencana eliminasi TNK sebagai finalis. Lima hari kemudian, surat itu ditanggapi pengacara N7W yang beralamat di London. Isinya, TNK tidak tereliminasi, melainkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenbudpar) tak lagi bisa menjadi official supporting committee (OSC).
 9. Pada 11 Februari 2011, Todung Mulya Lubis mengirim surat via e-mail lagi dan meminta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenbudpar) untuk kembali menjadi OSC. Surat kedua itu tidak dijawab.
10. Tetap masuknya TNK sebagai finalis tanpa keikutsertaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenbudpar) sebagai OSC itu membuat harga diri bangsa dilecehkan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang mewakili Pemerintah Indonesia tak boleh ikut mempromosikannya. 
11. Pekan lalu, Maldives (Maladewa), satu dari 28 finalis, menarik diri dari kompetisi yang diselenggarakan N7W itu. Negara kepulauan kecil dekat Sri Lanka itu menarik diri karena urusan finansial yang dibebankan N7W.
12. Pada 28 April 2011, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kratif mengutus satu delegasi beranggotakan delapan orang yang terdiri dari pejabat kementerian, seorang pengacara dari Kantor Pengacara Lubis, Santosa & Maulana, dan beberapa wartawan nasional untuk menyelidiki keberadaan N7W.
13. Duta Besar RI untuk Konfederasi Swiss dan Keharyapatihan Liechtenstein, membantu delegasi dari Jakarta untuk penyelidikan itu. Duta Besar Djoko Susilo sejak pertama kali datang di Swiss telah berhubungan dengan pemimpin redaksi harian nasional Swiss dan selalu mempertanyakan kredibilitas Yayasan N7W.  Sangat diherankan para pemimpin redaksi harian nasional Swiss tidak mengenal keberadaan Yayasan N7W.
14. Tim dari Jakarta yang dibantu staf KBRI Bern mengadakan kunjungan ke alamat yang tertulis sebagai kantor Yayasan N7W: Hoschgasse 8, PO Box 1212, 8034 Zurich.  Ternyata kode pos dari alamat yang diberikan tidak sesuai. Seharusnya alamat itu adalah: Hoschgasse 8, PO Box 1212, 8008 Zurich, di mana terdapat Museum Heidi Weber yang diarsiteki Le Corbusier dan selesai dibangun pada 1967. Museum itu hanya buka pada musim panas (Juni, Juli, Agustus) dari jam 14.00-17.00.
15. Tim dari Jakarta juga mendatangani kantor Pengacara Patrick Sommer dari Kantor Pengacara CMS von Erlach Henrici Ltd, untuk mendapatkan bantuan.
16. Sebagai yayasan, keberadaan N7W cukup unik. Yayasan ini tak jelas alamatnya, kecuali alamat e-mail-nya, hanya tertulis N7W berdiri di Panama, berbadan hukum Swiss, dan pengacaranya berada di Inggris.
17. Masyarakat Swiss sendiri tidak mengenal Yayasan N7W, dan yayasan ini bukan bagian dari UNESCO.
18. Sebagaimana diketahui, pada 1991, Taman Nasional Komodo bersama Taman Nasional Ujungkulon, Candi Borobudur, dan Candi Prambanan, oleh UNESCO dimasukkan sebagai warisan dunia. Karena reputasi UNESCO sebagai badan khusus PBB yang didirikan pada 1945 itu jauh melampaui N7W, ada baiknya kita tidak terpancing oleh aturan main N7W. (Ant/SHA)